Tentang Saya dan Jakarta

captured by her during her way to work.

[This is a republished story. Previously published on Embun’s old blog. Written in Indonesian, maybe one day will be translated to English. Hehehe]

Beberapa waktu lalu, sahabat sambat saya buat konten tentang ibu. Bukan tentang ibunya sih, tapi tentang Jakarta. Katanya, Jakarta is also a mother. A mother to all of us who busy make things work in order to live a life. Lalu, entah kenapa, saya kepikiran mau cerita tentang saya dan Jakarta.

Saya sebenernya nggak lahir dan besar di Jakarta. Dari kecil, saya tinggal di salah satu kota satelitnya Jakarta. Saya baru rajin bolak-balik Jakarta waktu lulus kuliah karena sibuk magang dan akhirnya ya kerja di sana juga. Dan kalau saya boleh jujur, sebetulnya saya nggak pernah cinta-cinta banget sama Jakarta, apalagi bangga sama Jakarta. Buat saya, Jakarta ya cuma ibu kota aja, tempat saya cari uang buat hidup sehari-hari dan buat beli sneakers, kaos, celana, backpack, dan banyak hal lain dalam daftar belanja saya. Hehehe. Tapi mungkin setelah hampir 4 tahun menghabiskan banyak waktu di Jakarta, saya akhirnya menemukan makna lain Jakarta buat saya.

Di novelnya Ika Natassa yang judulnya Critical Eleven, Anya, tokoh utamanya, bilang kalau Jakarta is a book full of stories. Dan kalau dipikir-pikir, Jakarta ini memang menawarkan banyak sekali cerita untuk masing-masing orang, termasuk buat saya. Kalau diingat-ingat lagi, saya jadi suka wondering, how did this happen? I’ve come that far already? Maafin ya, suka cengeng kalau urusan beginian. Hehe.

Saya mendapatkan pekerjaan magang pertama saya di Jakarta. Di tempat yang sudah saya cita-citakan sejak dulu, Kementerian Luar Negeri. Waktu itu saya bahkan belum lulus kuliah dan magangnya juga cuma sebulan, tapi saya sedikit banyak jadi mengerti apa saja tantangan-tantangan dan pilihan yang harus dihadapi mereka yang sibuk menyambung hidup di Jakarta.

Pilihannya mungkin sederhana aja, seperti hari ini mau ke kantor naik motor atau naik KRL aja, ya? Siang ini makan di warteg atau ke mall aja ya, mumpung gajian? Pulang kantor nanti mau langsung pulang atau mau nungguin macet dulu, ya? Atau misalnya niat buat belanja ini itu abis gajian, terus akhirnya nggak jadi karena ada hal lain yang tiba-tiba mendesak. Pilihan-pilihan ini juga yang menemani saya selama hampir 4 tahun kerja di Jakarta, yang tanpa sadar membantu saya untuk menjalani hari-hari.

Jakarta mengajarkan saya buat menaruh harapan, mimpi, dan cita-cita setinggi-tingginya dengan menemani saya melalui beberapa momen penting: interview kerja, interview beasiswa, mengajar Bahasa Jerman, ambil tes DaF dan tes IELTS, ikutan tes CPNS…. banyak, ya. Nggak semuanya berhasil, banyak gagalnya.

Tapi sebagaimana sebelumnya Jakarta mengajarkan saya untuk berani bermimpi, berharap, dan bercita-cita setinggi-tingginya, Jakarta juga mengajarkan saya buat berani menerima kegagalan, lalu mencoba lagi, berharap lagi, bekerja keras lagi. Jakarta mengajarkan saya untuk nggak menyerah begitu saja, lagi-lagi, lewat momen-momen sederhana yang menampar saya sekencang-kencangnya dan menarik saya untuk berdiri lagi sekuat-kuatnya.

Jakarta mempertemukan saya dengan orang-orang yang dengan segala keunikannya buat saya belajar setiap hari. Jakarta mempertemukan saya dengan orang-orang yang dengan mereka, persahabatan rasanya mungkin. Ternyata saya bisa juga punya lingkaran persahabatan di luar kota tempat saya tinggal dari kecil. Di seluruh sudut Jakarta, saya menghabiskan banyak waktu dengan sahabat-sahabat saya, teman-teman saya di kantor, teman-teman lama, dan tentu saja, menjalin banyak cerita, harapan bersama, sambatsambatsambat bersama, menghabiskan gaji dengan belanja ini itu, dan menghadapi pahit manisnya kenangan.

Ada juga bagian ketika saya ketemu dengan orang-orang yang buat saya heran, ini orang ngapain ya ada di bumi ini? Kok ada ya, orang yang kelakuannya kayak kecoak? But anyway, after all, Jakarta give me the meaning of friendship. A surprise I never knew I needed, a surprise i truly grateful for.

Jakarta mempertemukan saya dengan cinta yang nggak pernah saya sangka-sangka. Menemani saya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, tetapi juga nggak pergi saat hati saya patah dan air mata saya terus menerus tumpah. Jakarta mengajarkan saya untuk mengikhlaskan hati yang benar-benar harus pergi, meski sebetulnya nggak ada yang salah. Waktu hanya belum mengizinkan, atau memang sebetulnya bukan dia yang harus bersama saya melewati hari-hari dan momen-momen lainnya di Jakarta.

Jakarta pernah mengantarkan saya ke momen kencan pertama yang membuat kupu-kupu di perut saya heboh jungkir balik, tapi Jakarta juga terus menemani saya ketika akhirnya saya nggak pernah lagi bisa menganggap tempat itu sama lagi, karena di setiap sudutnya ada cerita tentang saya dan dia. Jakarta menemani saya melangkah lagi dan mencoba berdamai dengan diri saya dan masa lalu, merangkul saya untuk mencoba membuka hati lagi dan memaafkan diri sendiri.

Ternyata, Jakarta nggak pernah ninggalin saya, nggak peduli seberapa jauh saya ingin pergi dan lupa.

Pada akhirnya, mungkin memang Jakarta beserta kasih sayang dan kerasnya kehidupan di setiap sudutnya yang membuat saya menjadi saya yang sekarang. Pada akhirnya, apapun yang terjadi, Jakarta mungkin akan selalu menemani saya ke manapun saya pergi, sampai tua, sampai jadi debu.

Dan ke manapun hidup ini akan membawa saya kelak, sepertinya Jakarta akan selalu menjadi bagian yang nggak akan pernah saya lupakan.

Untuk Jakarta dan semua ceritanya,

dari Embun.

--

--

Embun Bening Diniari Sastrodinomo

She loves and hates things wholeheartedly, has many many many random thoughts, and sometimes speaks her mind out loud.